Tidak Semua Penganiayaan Masa Kecil Menghasilkan Penyakit Mental
Isi
- Investigasi Pelecehan Anak: Metode
- Investigasi Pelecehan Masa Kecil: Temuan
- Kesimpulan: Laporan Objektif dan Subyektif tentang Pelecehan Anak
Misalkan, berdasarkan catatan resmi pengadilan, Anda dilecehkan sebagai seorang anak, tetapi Anda tidak memiliki ingatan tentang itu. Sekarang anggaplah saudara Anda ingat pernah dilecehkan, tetapi tidak ada catatan pengadilan resmi yang menunjukkan bahwa pelecehan telah terjadi. Siapa di antara Anda yang lebih mungkin mengalami penyakit mental di masa mendatang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami beralih ke makalah terbaru, oleh Danese dan Widom, yang diterbitkan dalam edisi Agustus Sifat Perilaku Manusia . Makalah ini menunjukkan bukti obyektif dan pengalaman subjektif dari penganiayaan masa kanak-kanak tidak sama-sama terkait dengan psikopatologi dan penyakit mental di masa depan.
Investigasi Pelecehan Anak: Metode
Investigasi Widom dan Danese menggunakan data investigasi tahap kedua tentang pelecehan dan penelantaran anak. Sampel asli termasuk 908 peserta yang, menurut catatan resmi dari pengadilan pidana di A.S., menjadi korban pelecehan / penelantaran masa kanak-kanak. Kelompok pembanding — 667 peserta yang tidak memiliki catatan pelecehan dan penelantaran masa kanak-kanak — dicocokkan dengan kriteria seperti jenis kelamin, usia, etnis, dan kelas sosial.
Jadi total sampel termasuk 1.575 orang. Pada tindak lanjut, 1.307 dihubungi, di mana sebuah kohort yang terdiri dari 1.196 (51 persen laki-laki; 63 persen kulit putih; usia rata-rata 29 tahun; 11 tahun pendidikan) mengambil bagian dalam wawancara perorangan yang terperinci.
Wawancara termasuk pertanyaan tentang pengalaman penelantaran masa kanak-kanak, pelecehan fisik, pelecehan seksual, dan riwayat penyakit mental saat ini dan seumur hidup.
Investigasi Pelecehan Masa Kecil: Temuan
Analisis data mengidentifikasi tiga kelompok — dibedakan berdasarkan apakah bukti obyektif atau subyektif dari pelecehan masa kanak-kanak dilaporkan:
- Tujuan: Diidentifikasi sebagai korban (catatan pengadilan) tetapi tidak dapat mengingat penganiayaan.
- Subyektif: Tidak diidentifikasi sebagai korban (tidak ada catatan) tetapi mengingat penganiayaan.
- Objektif dan subyektif: Korban (catatan pengadilan) dan mengingat penganiayaan.
Perbandingan dari kelompok-kelompok ini menunjukkan, bahkan dalam kasus paling serius yang diidentifikasi berdasarkan catatan pengadilan, risiko penyakit mental tampak "minimal jika tidak ada penilaian subjektif". Dan risiko psikopatologi tinggi pada mereka yang memiliki pengalaman subjektif pelecehan, bahkan jika tidak ada catatan resmi tentang insiden pelecehan anak.
Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya pada sampel yang sama, yang menunjukkan bahwa mereka yang berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba sebagian besar adalah individu yang melaporkan viktimisasi masa kanak-kanak — bukan yang diidentifikasi sebagai korban pelecehan melalui catatan resmi.
Kesimpulan: Laporan Objektif dan Subyektif tentang Pelecehan Anak
Sebagai kesimpulan, tampaknya mereka yang "menafsirkan pengalaman masa kecil mereka sebagai penganiayaan," terlepas dari riwayat yang terdokumentasi, memiliki risiko tinggi untuk penyakit mental.
Kita perlu menyelidiki mengapa individu tertentu mengembangkan penilaian subjektif tentang pelecehan ketika tidak ada bukti obyektif untuk penganiayaan. Beberapa bidang studi termasuk sugestibilitas, serta persepsi dan bias memori yang berkaitan dengan faktor kepribadian atau penyakit mental sebelumnya.
Dan kita perlu memahami mengapa beberapa anak yang dilecehkan memandang dan mengingat pengalaman mereka sebagai penganiayaan dan yang lainnya tidak. Faktor-faktor yang berpotensi relevan termasuk usia saat pelecehan, tingkat keparahan penganiayaan, intensitas penderitaan yang dialami pada saat itu, faktor lingkungan (misalnya, perawatan dan dukungan sosial), dan kesulitan di kemudian hari yang dialami sebelum perkembangan penyakit mental.
Terakhir, penting bagi kami untuk tidak menggunakan data tersebut untuk mencapai kesimpulan yang salah, seperti berasumsi bahwa melecehkan anak tidak terlalu buruk jika mereka tidak terpengaruh olehnya secara subjektif (misalnya, jangan mengembangkan penyakit mental yang parah), bertahun-tahun kemudian . Seperti yang dicatat oleh penulis, temuan ini “tidak mengurangi pentingnya penganiayaan dalam kehidupan anak-anak. Penganiayaan adalah pelanggaran mendasar dalam hak asasi anak-anak dan merupakan kewajiban moral untuk melindungi mereka dari pelecehan dan penelantaran. "